Selasa, 27 Desember 2016

EVOLUSI BINTANG

EVOLUSI BINTANG


1.      PEMBENTUKAN BINTANG
Ruang diantara bintang-bintang tidak kosong, tetapi terdapat materi  berupa gas dan debu yang disebut materi antar bintang. Di beberapa tempat, materi antar bintang dapat dilihat sebagai awan antar bintang yang tampak terang ketika disinari oleh bintang-bintang panas di sekitarnya, atau akan tampak gelap  bila awan menghalangi cahaya bintang. Kerapatan awan antar bintang sangat kecil, jauh lebih kecil daripada udara di sekeliling kita tetapi awan antar bintang memiliki volume yang sangat besar sehingga materi di situ cukup banyak untuk membentuk ribuan bintang. Materi antar bintang ini memang bahan mentah pembentukan bintang. Awan antar bintang ini disebut nebula. Contohnya nebula orion dan nebula cakar kucing.
Gagasan antar bintang ini terbentang dalam ruang sebesar beberapa parsec dan massanya bisa ribuan kali massa matahari. Karena kerapatannya tinggi dan bermassa besar, gravitasi mendominasi dinamika internal awan-awan gas sehingga awan dapat runtuh kearah pusat dan memulai proses pembentukan bintang.
Namun ada gaya lain selain gaya gravitasi yang juga mempengaruhi kelahiran bintang yaitu seperti medan magnet kosmik dan turbulensi. Gravitasi menyokong prosesnya dengan menarik semua materi menjadi satu. Medan magnetik dan turbulensi menjadi gaya tambahan yang menghalangi proses tersebut. Saluran medan magnet dalam pembentukan bintang akan mengalirkan gas dan membuatnya menjadi lebih sulit untuk menarik gas dari semua arah, sementara turbulensi mengendalikan gas dan menyebabkan tekanan ke arah luar yang menentang gravitasi.
Kombinasi antara turbulensi dalam awan dan energi magnetik dalam awan menghambat proses keutuhan ini dengan cukup efektif, namun dititik paling rapat dalam awan tersebut dapat terjadi pelemahan medan magnetik dan jabang bayi bintang (protobintang) dapat terbentuk. Oleh suatu peristiwa hebat, misalkan ledakan bintang atau pelontaran massa oleh bintang, di suatu sekelompok materi antar bintang menjadi lebih mampat daripada di sekitarnya. Bagian luar awan ini akan tertarik oleh gaya gravitasi materi di bagian dalam. Akibatnya awan ini mengerut dan menjadi makin mampat. Peristiwa seperti ini disebut sebagai peristiwa kondensasi.
Agar terjadi kondensasi, massa yang diperlukan tidak usah terlalu besar, beberapa ratus massa matahari sudah cukup. Jadi, di dalam awan yang bermassa beberapa ratus massa matahari ini akan terjadi kondensasi yang lebih kecil. Pada setiap kondensasi kerapatan awan dalam gas bertambah besar. Riwayat gumpalan awan induk akan terulang lagi dalam kelompok awan yang lebih kecil itu. Disitu akan terjadi kondensasi lebih kecil lagi dan seterusnya. Peristiwa ini disebut peristiwa fragmentasi.
Awan yang tadi satu terpecah menjadi ratusan bahkan ribuan awan dan setiap awan mengalami pengerutan gravitasi. Pada akhirnya suhu menjadi cukup tinggi sehingga awan-awan itu akan memijar dan menjadi embrio atau jabang bayi suatu bintang atau disebut protobintang. Pada saat sudah menjadi protobintang, materi awan yang tadinya tembus pancaran menjadi kedap terhadap pancaran. Energi yang dihasilkan pengerutan yang tadinya bebas dipancarkan keluar, sekarang terhambat. Akibatnya tekanan dan temperatur bertambah besar sehingga proses pengerutan menjadi lambat dan proses fragmentasi akan terhenti.
Namun jabang bayi bintang-bintang ini diamati tidak sendirian, namun bersama-sama jabang-jabang bintang lainnya. Jadi sebuah awan gas raksasa dapat membentuk banyak jabang-jabang bintang yang akhirnya saling terikat secara gravitasional membentuk gugus bintang.
Bintang muda yang panas memancarkan dan mengionisasikan gas disekitar bintang. Akibatnya bintang dilingkupi oleh daerah yang mengandung ion hidrogen yang disebut daerah HII yang mengembang dengan cepat. Pemuaian selubung ion hidrogen     ini dapat berlangsung secara supersonik (lebih cepat dari kecepatan rambat gelombang bunyi di tempat itu ) hingga menimbulkan gelombang kejut. Akibat gelombang kejut ini, gas dingin disekitarnya akan mengalami pemampatan hingga terbentuk kondensasi dan terbentuklah bintang baru. Bintang baru inipun akhirnya akan dilingkupi oleh daerah HII yang mengembang dengan cepat. Bintang baru akan terbentuk lagi akibat dorongan gas yang memuai ini. Begitulah seterusnya pembentukan bintang berlangsung secara berantai.



2.      EVOLUSI PRA DERET UTAMA
Secara teori kita dapat mengikuti jejak evolusi bintang pada diagram HR. Jadi bila berdasarkan pengamatan dapat kita ketahui letak suatu bintang dalam diagram HR, kita dapat memperoleh informasi, pada tahap apa bintang tersebut. Suatu proto bintang yang telah mengakhiri proses fragmentasinya akan terus mengerut akibat gravitasinya.



Evolusi Pra Deret Utama dalam Diagram HR
Pada awalnya temperatur dan luminositasbintang masih rendah, dalam diagram HR letaknya di kanan bawah (titik A). Hayashi menunjukan bahwa bintang dengan temperatur efektif terlalu rendah tidak mungkin berada dalam keseimbangan hidrostatik. Dalam diagram HR daerah ini disebut ‘daerah terlarang Hayashi’ (daerah yang di arsir). Protobintang barada di daerah itu. Pada mulanya kerapatan materi protobintang seragam, tetapi kemudian materi makin rapat ke arah pusat. Materi protobintang sebagian besar adalah hidrogen. Pada temperatur yang rendah hidrogen kebanyakan berupa molekul H2. Dengan meningkatnya temperatur tumbukan antar molekul menjadi makin sering dan makin hebat. Pada temperatur sekitar 1500 K terjadi penguraian (disosiasi) molekul hidrogen menjadi atom hidrogen. Untuk menyediakan energi cukup besar bagi berlangsungnya disosiasi itu protobintang mengerut lebih cepat. Pada temperatur yang makin tinggi akan terjadi proses ionisasi pada atom hidrogen dan helium. Proses ini pun menyerap energi sehingga pengerutan yang cepat berlangsung terus. Pengerutan dengan laju besar ini berakhir bila semua hidrogen dan helium di dalam telah terionisasi semua.
Evolusi protobintang ditandai dengan keruntuhan cepat (hampir seperti jatuh bebas). Pada akhirnya protobintang menyeberang daerah terlarang Hayashi (titik B). Kita sebut protobintang itu dengan bintang pra deret utama. Luminositas bintang sangat tinggi karena maeri masih renggang sehingga energi bebas terpancar keluar. Bintang akan mengerut dengan laju yang lebih lambat menyusuri pinggir luar daerah terlarang Hayashi. Jejak evolusinya hampir vertikal (Te hampir tak berubah), jejak ini dikenal sebagai jejak Hayashi. Karena temperatur efektifnya yang rendah, hampir seluruh bintang berada dalam keadaan konveksi. Bintang mengerut dengan jejarinya mempunyai harga terbesar yang dibolehkan oleh keseimbangan hidrostatik.
Karena kekedapan (atau koefisien absorpsi R), menurun dengan naiknya temperatur (hukum Kramers) gradien temperatur di pusat bintang juga menurun hingga berlakulah keadaan setimbang pancaran di pusat bintang. Terbentuklah pusat yang energinya diangkut secara pancaran di dalam bir tang (disebut pusat pancaran). Dengan makin besarnya pusat pancaran, yang kekedapannya kecil, maka bintang pun makin berkurang kekedapannya. Lebih banyak energi yang mrengalir secara pancaran. Hal ini ditandai dengan naiknya luminositas (titik C). Karena bintang tetap mengerut selama luminositasnya meningkat, permukaannuya menjadi lebih panas, bintang bergerak ke atas dan ke kiri dalam diagram HR. Laju evolusi pada tahap ini jauh lebih lambat daripada sebelumnya. Pada akhirnya temperatur di pusat bintang cukup tinggi untuk berlangsungnya pembakaran hidrogen. Pada saat itu tekanan di dalam bintang menjadi besar dan pengerutan pun berhenti. Bintang menjadi bintang deret utama (titik D). Tahap evolusi sebelum mencapai deret utama itu kita sebut tahap praderet utama.
Waktu yang diperlukan sebuah bintang berevolusi dari awan antar bintang menjadi bintang deret utama bergantung pada massa bintang itu. Makain besar massa suatu bintang, makin singkat waktu yang diperlukan untuk mencapai deret utama bagi bintang dengan berbagai massa.
Kemungkinan kita mengamati suatu bintang pada suatu tahap evolusi bergantung pada lamanya tahap evolusi tersebut. Karena tahap evoluisi pra deret utama bintang yang bermassa besar berlangsung sangat singkat, kemungkinannya lebih besar bagi kita mengamati tahap pra deret utama bintang dengan massa yang kecil.
Bila massa bintang terlalu kecil, suhu di pusat bintang tak pernah cukup tinggi untuk berlangsung reaksi pembakaran hidrogen. Batas massa untuk ini bergantung pada kompisis kimia , umumnya sekitar 0,1 . Bintang dengan massa lebih kcil dari batasmassa ini akan mengerut dan luminositasnya menurun. Bintang akhirnya mendingin manjadi bintang katai gelap tanpa mengalami reaksi inti yang berarti
3.      Evolusi di deret utama.
Temperatur di pusat bintang menjadi semakin tinggi karena pengerutan akibat gravitasi. Pada temperatur sekitar 10 juta derajat, inti hydrogen bereaksi membentuk helium. Energi yang dibangkitkan oleh reaksi ini menyebabkan tekanan di dalam bintang menahan pengerutan bintang dan bintang menjadi mantap. Pada saat itu bintang mencapai deret utama berumur nol (atau zero age main-sequence, disingkat ZAMS). Komposisi kimia bintang pada saat itu masih homogen dan masih mencerminkan komposisi awan antar bintang yang membentuknya. Deret utama merupakan kedudukan bintang dengan reaksi inti di pusatnya yang komposisi kimianya masih homogen.
Akibat berlangsungnya reaksi inti di pusat bintang, hydrogen di pusat berkurang sedang helium bertambah. Jadi dengan perlahan terjadi perubahan komposisi kimia di pusat bintang. Sedikit demi sedikit bintang tidak homogen lagi komposisinya. Hal ini berakibat perubahan struktur bintang dengan perlahan. Bintang menjadi lebih terang, jari-jari bertambah besar dan temperature efektifnya berkurang, namun belum bergeser jauh dari deret utama. Tahap evolusi ini disebut tahap deret utama yang bermula dari deret utama berumur nol.
Reaksi proton-proton
Perkembangan fisika kuantum, mengeluarkan teori baru akan pembangkitan energi di dalam bintang. Sir Arthur Eddington pada 1920 mengemukakannya untuk pertama kali, melibatkan dua proton yang bergabung untuk membentuk satu inti helium diikuti dengan pelepasan energi. Pada tahun 1939, Hans Bethe mengemukakan mekanisme daur proton-proton untuk pembangkitan energi di dalam bintang sekelas matahari, melengkapi teori mekanisme daur karbon-nitrogen-oksigen yang dikemukakan sebelumnya pada 1938 oleh Carl Friedrich van Weizsicker.
Ketika Eddington mengungkapkan usulannya untuk pertama kali, didapati bahwa tekanan dan temperatur matahari tidak cukup tinggi untuk melangsungkan pembakaran fusi hydrogen. Bethe melihat bahwa efek terowongan dalam fisika kuantum dapat mengatasi masalah ini, sehingga reaksi fusi dapat terjadi dalam lingkungan dengan temperatur dan tekanan yang tidak terlalu tinggi. Daur proton-proton yang diusulkan oleh Hans Bethe adalah reaksi fusi yang tidak terlalu peka terhadap suhu dan berlangsung dengan lambat. Daur ini juga yang membuat bintang-bintang sekelas matahari dan yang lebih kecil dapat berumur jauh lebih panjang.
Reaksi proton-proton ini terjadi terutama pada bintang-bintang seukuran matahari atau lebih kecil. Umumnya reaksi proton-proton hanya terjadi pada temperatur yang sangat tinggi. Reaksi proton-proton merupakan reaksi berantai yang melibatkan tumbukan 6 proton dengan hasil akhir 1 inti helium, 2 proton, 2 positron, 2 neutrino, dan energi. Dinamai reaksi proton-proton karena melibatkan 2 proton












Reaksi daur karbon
Daur karbon berlangsung pada temperatur dan tekanan yang tinggi, yaitu saat energi kinetic mampu mengatasi penghalang gaya Coulomb. Daur karbon berlangsung dengan laju cepat, sehingga sekali bintang memiliki cukup tekanan dan temperatur, daur ini akan lebih dominan ketimbang daur proton-proton. Dengan daur karbon, terjadi semacam siklus melingkar, semakin tinggi temperature, semakin cepat reaksi berlangsung dan semakin cepat reaksi berlangsung, semakin tinggi temperature. Daur ini yang dominan terjadi pada bintang-bintang yang lebih massif daripada matahari.
Pada reaksi daur karbon dilalui dengan memanfaatkan atom-atom karbon sebagai katalis dalam reaksi. Pada kondisi suhu inti matahari hanya 1,7 % 4 He yang diproduksi melalui mekanisme daur karbon ini. akan tetapi di dalam bintang yang lebih berat daur karbon menjadi sumber energi utama. Dominan atau tidaknya daur karbon bergantung pada kelimpahan 12 C dan temperature. Dalam rangkaian teaksi ini secara netto, 4 proton diubah menjadi 1 partikel alpha, 2 positron (yang segera musnah karena interaksi dengan elektron dan menghasilkan energi dalam bentuk sinar gamma), dan 2 neutrino.
Reaksi



4.      Evolusi Bintang Pasca Deret Utama
Seperti halnya evolusi deret utama. Evolusi pasca deret utama bintang juga ditentukan oleh massanya.
Macam-macam bintang berdasarkan massanya,antara lain:
a.    Bintang Kecil : berukuran kurang dari 4 kali atau sama dengan Massa Matahari
b.   Bintang Sedang : berukuran 4-8 kali Massa Matahari
c.    Bintang Masiv : berukuran 8-30 kali Massa Matahari
d.   Bintang Super Masiv : berukuran lebih dari 30 kali Massa Matahari
Proses Evolusi Bintang secara umum
Setelah hidrogen di pusat habis digantikan pusat helium dan massa pusat helium pada akhirnya mencapai batas Schonberg- Chandrasekhar.Pusat helium mengerut dengan cepat dan menjadi panas. Reaksi pembakaran hidrogen berlangsung di lapisan luar yang melingkupi pusat helium. Pada saat pusat Helium mengerut, lapisan luar bintang mengembang. Bintang berevolusi menjadi bintang raksasa merah. Jejaknya dalam diagram HR menuju ke kanan. Pusat yang mengerut dan temperaturnya semakin tinggi menyebabkan helium di pusat menjadi bahan bakar.
Proses Pembakaran
a.   Massa Kecil
 Untuk bintang bermassa kecil, reaksi  pembakaran terjadi apabila rapat massa pusat bintang sudah sedemikian besar (dalam keadaan  terdegenerasi sempurna)
b. Massa besar
Untuk bintang bermassa besar, reaksi pembakaran tidak perlu menunggu kerapatan materi pusat terlampau besar, karena temperatur di pusat sudah cukup tinggi sebelum keadaan terdegenerasi tercapai.

1.      Proses Evolusi Bintang Bermassa kecil
Untuk bintang bermassa kecil, reaksi pembakaran helium terjadi di pusat yang terdegenerasi sempurna. Tekanan di pusat hampir sepenuhnya diberikan oleh electron terdegenerasi ( tekanan elektron terdegenerasi tidak bergantung pada temperaturnya).Akibatnya setelah temperatur naik akibat pembakaran helium maka tekanan hampir tidak berubah. Sehingga menyebabkan tidak terjadi pemuaian seperti pada keadaan tak terdegenerasi. Dengan meningkatnya temperature, materi yang tadinya terdegenerasi menjadi tidak terdegenerasi. Apabila hal ini terjadi, maka gas akan berada pada temperatur yang terlalu tinggi untuk tekanannya. Akibatnya, gas akan menyesuaikan tekanannya dalam proses yang berlangsung dengan cepat. Peristiwa mulai dari pembakaran helium hingga peningkatan tekanan yang mendadak di pusat disebut kilatan helium ( helium flash).
2.      Proses Evolusi Bintang Bermassa Sedang
Pusat helium yang mengerut dan menjadi panas. Untuk bintang bermasa sedang, reaksi pembakaran helium berlangsung dengan mantap, sehingga struktur bintang berubah dengan perlahan, yang menyebabkan evolusi dapat terlihat. Setelah terjadi pembakaran helium, pusat bintang yang tadinya mengerut akan mengembang. Pengembangan pusat bintang ini diikuti oleh pengerutan lapisan luar bintang, sehingga temperatur efektif bintang meningkat. Pengembangan pusat ini bersifat eksplosif yang akan mengakibatkan bintang akan meledak menjadi supernova.
3.      Proses Evolusi Bintang Bermassa Besar
Proses ini dimulai dengan mengerutnya pusat helium dan menjadi panas. Pada saat bintang meninggalkan deret utama, temperatur di pusat sudah cukup tinggi, sehingga reaksi pembakaran helium terjadi setelah bintang meninggalkan deret utama. Akibat dari pusat helium yang mengerut, menyebabkan lapisan luar mengembang dan berevolusi menjadi bintang raksasa merah.
5.      Akhir Riwayat Bintang
a.       Akhir Riwayat Bintang bermassa kecil
Bintang bermassa kecil akan mengalami kilatan helium pada tahap pasca deret utama. Makin kecil massa bintang, dan makin sedikit unsur beratnya, maka makin biru warnanya. Setelah helium di pusat bintang bintang habis, terbentuklah pusat karbon-oksigen di dalam bintang akibat dari implikasi reaksi fusi nuklir. Suatu bintang bermassa kecil yang didalamnya berlangsung reaksi pembakaran hydrogen dan helium di sekitar pusat karbon-oksigen, maka akan goyah kemantapannya. Akibatnya bintang akan berdenyut dengan denyutan yang makin kuat, sehingga terjadi pelontaran massa oleh bintang. Bintang akan melontarkan materi bagian luarnya sehingga tersingkap pusatnya yang sangat panas atau yang disebut sebagai Planetary Nebula. Planetray Nebula tampak sebagai bintang panas yang dikelilingi oleh cincin gas. Pengamatan pada Planetray Nebula menunjukkan bahwa cincin gas itu mengembang dan pusatnya mengerut. Bintang pusat yang mengerut tersebut pada akhirnya akan menjadi bintang Katai Putih ( White Dwarf). Bintang dengan massa kecil ini sangat lambat evolusinya. Diperlukan waktu melebihi umur alam semesta sekarang untuk menjadi bintang Katai Putih. Setelah sumber energy di dalam bintang habis, bintang Katai Putih selanjutnya menjadi bintang Katai Gelap.


Gambar 1. Planetary Nebula
Gambar diatas merupakan Planetary Nebula cincin (Ring Nebula- M57) yang diabadikan oleh teleskop luar angkasa Hubble. Planetary Nebula ini berjarak 2000 tahun cahaya .

Gambar 2. Bintang Katai Putih
b.      Akhir Riwayat Bintang Bermassa Sedang
Untuk bintang bermassa sedang, akibat reaksi pembakaran heluum, karbon akan tertimbun di pusat bintang dan digangtikan pusat karbon. Pusat karbon akan mengerut hingga rapat massa dan temperature di pusat bintang makin tinggi. Pada temperatur yang cukup tinggi untuk berlangsungnya pembakaran karbon, materi di pusat sudah sanagt terdegenerasi. Reaksi pembakaran karbon dalam keadaan terdegenerasi bersifat eksplosif sehingga bintang akan meledak, atau disebut sebagai Supernova.
c.       Akhir Riwayat Bintang Bermassa Besar
Untuk  bintang  bermassa besar, reaksi pembakaran karbon berlangsung sebelum materi di pusat bintang terdegenerasi. Reaksi pembakaran karbon berlangsung dengan mantap (tidak eksplosif). Implikasi dari reaksi fusi nuklir, akan menghasilkan unsur-unsur baru seperti karbon, inti besi dan inti berat lainnya pada pusat bintang. Pada temperatur dan tekanan  yang sangat tinggi, inti besi akan terurai kembali menjadi inti helium. Terurainya inti besi menjadi helium menyerap energy. Akibatnya tekanan di pusat bintang mendadak turun hingga pusat bintang runtuh dengan dahsyat karena terhimpit beban yang berat dan mendorong terjadinya ledakan supernova. Pusat bintang yang runtuh tersebut menjadi sanagt mampat. Sehingga elektron di pusat bintang akan terhimpit sehingga makin dekat dengan inti. Elektron-elektron tersebut banyak yang menembus inti. Elektron yang menembus inti menyatu dengan protin membentuk neutron. Terbentuklah gas yang kaya engan neutron. Pada keadaan yang sangat mampat ini, gas neutron terdegenerasi. Neutron terdegenerasi memeberikan tekanan  balik  yang menghentikan pengerutan dan terbentuklah bintang neutron. Bintang ini akan berputar dan memiliki sebuah medan magnet. Bintang neutron yang berotasi sangat cepat disebut dengan Pulsar. Pulsar memancarkan gelombang radio dari kutub magnetnya pada arah tertentu, sehingga tampak seperti berdenyut (efek sirine).
Gambar 3. Supernova
Gambar diatas adalah Supernova 1987A yang diamati oleh teleskop luar angkasa Hubble.


Gambar 4. Pulsar

MAGNITUDO BINTANG


Magnitudo Bitang

Dengan  berkembangnya  fotografi, magnitudo  bintang  selanjutnya ditentukan  secara fotografi. Pada  awal fotografi, emulsi fotografi mempunyai  kepekaan di daerah biru-ungu pada  panjang  gelombang sekitar  4 500 . Magnitudo  bintang  yang diukur  dalam  daerah warna  biru  disebut  magnitudo  fotografi (mfot).   Sebagai contoh  kita  ambil  perbandin- gan hasil pengukuran  magnitudo  visual dengan magnitudo  fotografi untuk  bintang  Rigel dan  Betelgeuse  yang berada  di rasi Orion.   Rigel berwarna  biru  sedangkan  Betelgeuse berwarna  merah.
Perbandingan bintang  Rigel dan Beteguese


Jadi  untuk  suatu  bintang,  mvis berbeda  dari mfot.  Selisih kedua magnitudo  tersebut, dinamakan  indeks warna (Color Index  CI).
CI = mfot - mvis
Makin panas atau  makin biru suatu  bintang,  semakin kecil indeks warnanya. Distribusi  energy spectrum  bintang  Rigel



Distribusi  energy spectrum  bintang  Betelgeus



Dengan berkembangnya  fotografi, selanjutnya dapat  dibuat  pelat  foto yang peka terhadap daerah panjang gelombang lainnya, seperti kuning, merah bahkan inframerah.Pada tahun  1951, H.L. Johnson dan W.W. Morgan mengajukan sistem magnitudo  yang disebut sistem UBV, yaitu  :
U = magnitudo  semu dalam daerah  ultraviolet  (panjang  gelombang = 3500 )
B = magnitudo  semu dalam daerah  biru (panjang  gelombang = 4350 )
V = magnitudo  semu dalam daerah  visual (panjang  gelombang = 5550)
Berbagai Sistem Magnitudo





Magnitudo  adalah  suatu  sistem skala ukuran  kecerlangan  bintang.  Sistem magnitudo ini dibuat  pertama  kali oleh Hipparchus  pada  abad  2 sebelum  masehi.   Dia membagi terang  bintang  menjadi  6 kelompok berdasarkan penampakkannya dengan  mata  telan- jang.   Bintang  yang  paling  terang  diberi  magnitudo  1 sedangkan  bintang  yang  paling lemah yang bisa diamati  oleh mata  telanjang  diberi magnitudo  6. Hal yang perlu diper- hatikan  bahwa semakin terang  suatu  bintang,  semakin kecil magnitudonya.  Kelemahan sistem ini adalah tidak adanya suatu standar  baku tentang  terang bintang dan penentuan skala ini sangat  tergantung pada  kejelian dan kualitas  mata  pengamat  (karena  bersifat kualitatif ).
Ilmuwan  John  Herschel mendapatkan bahwa  kepekaan  mata  dalam  menilai  terang bintang  bersifat logaritmik.  Bintang  yang bermagnitudo 1 ternyata 100 kali lebih terang dibandingkan bintang  yang bermagnitudo 6. Berdasarkan fakta ini, Pogson merumuskan skala  magnitude  secara  kuantitatif.   Hal  ini menyebabkan  sistem  magnitudo  semakin banyak  digunakan  hingga saat ini. Skala Pogson untuk  magnitudo  (semu):
m1 - m2 = -2,5log(E1/E2)
dengan :
m1 : magnitudo  (semu) bintang  1
m2 : magnitudo  (semu) bintang  2
E1 : Fluks pancaran  yang diterima  pengamat  dari bintang  1
E2 : Fluks pancaran  yang diterima  pengamat  dari bintang  2
Harga acuan (pembanding  standar) skala magnitudo  mula-mula digunakan bintang Po- laris. Bintang Polaris ditetapkan memiliki magnitudo 2 dan bintang lainnya dibandingkan terhadap bintang  Polaris.  Bintang  Polaris,  yang juga bintang  kutub  langit utara,  dipilih karena  bintang  ini terlihat  dari seluruh  observatorium  yang ada di belahan  bumi utara (karena pada masa itu, belahan bumi utara  lebih berkembang dan maju secara teknologi). Namun,  bintang  ini ternyata memiliki kecerlangan yang berubah-ubah (Polaris  ternyata adalah  sebuah  bintang  variabel  Cepheid)  sehingga kecerlangan  Polaris  tidak  bisa digunakan  sebagai patokan/standar baku.  Oleh sebab itu,  astronom  menentukan bintang - bintang  lainnya untuk  dijadikan  standar.
a.      Magnitudo  Semu
Magnitudo  tampak  atau  semu (m) dari suatu  bintang,  planet  atau  benda langit lainnya adalah  pengukuran  dari kecerahan  atau  kecerlangan yang tampak yaitu  banyaknya cahaya yang diterima  dari objek itu.
m = -2,5 log E+  tetapan
dengan  m:magnitude semu
b.      Magnitudo  Mutlak
Untuk menyatakan luminositas atau kuat sebenarnya  sebuah bintang,  kita definisikan besaran magnitudo  mutlak,  yaitu magnitudo  bintang  yang diandaikan  diamati  dari jarak10 pc.
M = -2,5 log E + tetapan
Dengan M : magnitudo  mutlak
Dari rumusan Pogson kita dapat me-nentukan  perbedaan magnitudo mutlak dua buah bintang  yang luminositasnya masing-masing  L1 dan L2, yaitu:  Untuk  bintang  ke-1 :
Skala Pogson untuk magnitudo mutlak (M) :
M1 - M2 = -2,5log(L1/L2)
dengan :
     M1 : magnitudo mutlak bintang 1
     M2 : magnitudo mutlak bintang 2
     L1 : Luminositas bintang 1
     L2 : Luminositas bintang 2
Hubungan antara magnitudo semu (m) dan magnitudo mutlak (M) disebut modulus jarak.
m - M = -5 + 5 log d
dengan d adalah jarak bintang (dalam pc) dan (m-M) disebut modulus jarak)
Tapi, jika keberadaan serapan oleh materi antar bintang (MAB) tidak diabaikan, maka persamaan modulus jaraknya :
m - M = -5 + 5 log d + AV
dengan AV : konstanta serapan materi antar bintang.
Pada tahun 1951, H.L. Johnson dan W.W. Morgan mengajukan sistem magnitudo yang disebut sistem UBV, yaitu :
            U = magnitudo semu dalam daerah ultraungu (λef = 3500 Ã…)
            B = magnitudo semu dalam daerah biru ( λef = 4350 Ã…)
            V = magnitudo semu dalam daerah visual ( λef = 5550 Ã…)
Dalam sistem UBV ini, indeks warna adalah U-B dan B-V. Semakin panas suatu bintang, semakin kecil nilai (B-V) nya.


Dengan Mbol = magnitudo mutlak bolometrik bintang
Mbol¤ = magnitudo mutlak bolometrik Matahari (4,74)

MAGNITUDE ABSOLUTE (MUTLAK)
Untuk menyatakan luminositas atau kuat sebenarnya sebuah bintang, kita definisikan besaran magnitudo mutlak : magnitudo bintang yang diandaikan diamati dari jarak 10 parsec.
            Skala Pogson untuk magnitudo mutlak ini adalah

                                                                                                      


Terang Bintang
Terang suatu bintang dalam astronomi dinyatakan dalam satuan magnitudo. Hipparchus (abad ke-2 SM) membagi terang bintang dalam 6 (enam) kelompok berdasarkan penampakannya dengan mata telanjang. Bintang paling terang tergolong magnitudo kesatu. Bintang yang lebih lemah tergolong magnitudo kedua. Dan seterusnya hingga bintang paling lemah yang masih bisa dilihat dengan mata termasuk magnitudo ke-6. Makin terang sebuah bintang, makin kecil magnitudonya


John Herschel mendapatkan bahwa kepekaan mata dalam menilai terang bintang bersifat logaritmik. Bintang yang magnitudonya satu ternyata 100 kali lebih terang daripada bintang yang magnitudo-nya enam. Berdasarkan kenyataan ini, Pogson (Norman Robert Pogson) pada tahun 1856 mendefinisikan skala satuan magnitudo secara lebih tegas
Tinjau dua bintang :
Üm1 = magnitudo bintang ke-1
Üm2 = magnitudo bintang ke-2
ÜE1 = fluks bintang ke-1
ÜE2 = fluks bintang ke-2
Maka, skala Pogson didefinisikan sebagai :
m1m2 = - 2,5 log (E1/E2)
Dengan skala Pogson ini dapat ditunjukkan bahwa bintang bermagnitudo 1 adalah 100 kali lebih terang daripada bintang bermagnitudo 6.
Jika m1 = 1 dan m2 = 6, maka
Secara umum rumus Pogson dapat dituliskan :
m = -2,5 log E + tetapan
merupakan besaran lain untuk menyatakan fluks bintang yang diterima di bumi per cm2 s-1
Harga tetapan ditentukan dengan mendefinisikan suatu titik nol. Awalnya sebagai standar magnitudo digunakan bintang Polaris yang tampak di semua Observatorium yang berada di belahan langit utara. Bintang Polaris ini diberi magnitudo 2 dan magnitudo bintang lainnya dinyatakan relatif terhadap magnitudo bintang polaris. Tahun 1911, Pickering mendapatkan bahwa bintang Polaris, cahayanya berubah-ubah (bintang variabel) dan Pickering mengusulkan sebagai standar magnitudo digunakan kelompok bintang yang ada di sekitar kutub utara (North Polar Sequence). Pada saat ini telah banyak bintang standar yang bisa digunakan untuk menentukan magnitudo sebuah bintang, baik yang berada di langit belahan utara, maupun di belahan langit selatan.
Magnitudo Bolometrik
Sistem magnitudo  yang sudah  sebelumnya  hanya  diukur  menggunakan  panjang  gelom- bang tertentu saja.  Walaupun  berbagai  magnitudo  tersebut  dapat  menggambarkan se- baran  energi pada  spektrum  bintang  sehingga  dapat  memberikan  petunjuk   mengenai temperaturnya, namun belum dapat memberikan informasi mengenai sebaran energi pada seluruh panjang gelombang yang dipancarkan oleh suatu  bintang.  Oleh karena itu, dibu- atlah sebuah sistem megnitudo yang disebut dengan sistem magnitudo bolometrik (mbol) Magnitudo bolometrik adalah magnitudo rata-rata bintang diukur dari seluruh panjang gelombang
Magnitudo mutlak bolometrik bintang sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui  luminositas  dari sebuah  bintang  (energi total  yang dipancarkan permukaan bintang  per detik)  dengan  membandingkan magnitudo  mutlak  bintang  dengan  magni- tudo mutlak  bolometrik Matahari. Rumus Pogson untuk  magnitudo  bolometrik adalah :

Ebol  adalah  Fluks Bolometrik
Cbol  :tetapan
Perlu  diingat  :  tanda  - (negatif )  pada  persamaan  Pogson  diatas  menunjukkan  kecera- han bintang,  semakin kecil nilainya  maka bintang semakin terang.
Apabila  Mbol suatu  bintang  dapat  ditentukan, maka  luminositasnya  juga dapat  di- tentukan (dapat  dinyatakan dalan  luminositas  Matahari).  Luminositas  sebuah  bintang merupakan  parameter yang sangat  penting  dalam  teori  evolusi bintang.Namun  magni- tudo  mutlak  bolometrik  sangat  susah  ditentukan, karena  beberapa  panjang  gelombang tidak  dapat  menembus  atmosfer  bumi.  Oleh karena  itu  untuk melakukan  pengamatan magnitudo  bolometrik harus dilakukan  di atas atmosfer.
Magnitudo  bolometrik  dapat   ditentukan  secara  teori  berdasarkan  pengamatan  di bumi.   namun  juga dapat  ditentukan secara tidak  langsung,  yaitu  dengan  memberikan koreksi pada magnitudo  visualnya,  yang disebut  koreksi bolometrik (Bolometric  Correc- tion   BC).
mv - mbol = BC
atau  dalam magnitudo  mutlak  dituliskan
Mv - Mbol = BC
Nilai BC tergantung pada temperatur atau warna bintang.Untuk bintang yang sangat panas,  sebagian besar energinya dipancarkan pada  daerah  ultraviolet,  sedangkan  untuk bintang  yang sangat  dingin, sebagian besar energinya dipancarkan pada  daerah  infram- erah  (hanya  sebagian  kecil saja  pada  daerah  visual).    Untuk  bintang-bintang seperti ini, harga  BCnya  bernilai besar,  sedangkan  untuk  bintang-bintang yang temperaturnya sedang,  yang  mana  sebagian  besar  radiasinya  pada  daerah  visual)  harga  BCnya  kecil, seperti pada Matahari  ±5300 angstrom.
Hubungan  antara BC dan B  V untuk  deret utama  dapat  digambarkan dalam grafik berikut:

Diagram Hertzprung-Russel
Pada  tahun  1911, seorang astronom  Denmark  bernama  Ejnar  Hertzprung  (1873-1967) membuat  sebuah diagram yang menghubungkan kecerlangan bintang  dengan kelas spek- trumnya. Kemudian  pada  1913 seorang astronom  Amerika Serikat,  Henry Norris Russel (1877-1957) juga membuat  diagram  yang sama.   Diagram  ini akhirnya  dikenal  dengan sebutan  diagram Hertzprung-Russel.



Diagram Hertzprung-Russel kemudian menjadi salah satu perangkat  utama  bagi para astronom dalam mempelajari bintang.  Dengan menggunakan diagram ini, para astronom banyak  mendapatkan informasi tentang  bintang,  seperti tahapan evolusi dan jaraknya. Awalnya diagram ini disusun berdasarkan kelas spektrum  bintang,  maka bagian kiri dari diagram  ini menunjukkan kedudukan  bintang-bintang dengan  temperatur tinggi.  Pada diagram  Hertzprung-Russel tampak  bahwa  sebagian besar bintang  terletak  pada  posisi diagonal dari kiri atas  ke kanan  bawah diagram.  Ini adalah  hal yang wajar karena pada umumnya  bintang-bintang yang lebih terang  adalah  juga bintang  yang panas.
Daerah  diagonal  pada  diagram  Hertzprung-Russel kemudian  diberi nama  bagian  deret utama.   Tidak  semua bintang  ada  pada  posisi deret  utama.   Ada bintang-bintang yang berada pada sudut kanan atas, yang menandakan bahwa bintang ini terang namun dingin dan berwarna merah.  Ada juga bintang-bintang yang terletak  di sebelah kiri bawah, yang menunjukkan sebuah  bintang  dengan  suhu  tinggi  namun  tidak  terlalu  terang.   Karena bintang-bintang yang terletak di bagian kanan  atas  adalah  bintang-bintang yang terang meskipun  dingin,  ini berarti  bahwa  kecerlangannya  yang  besar  berasal  dari  luas  permukaan pemancar  radiasinya  yang besar.  Para  astronom  menamai bintang-bintang yang berada  pada  posisi ini sebagai bintang  raksasa  (giants).   Karena  warnanya  yang merah, namanya  menjadi  bintang  raksasa  merah.   Selain bintang  raksasa  merah,  ada  bintang yang kecerlangannya  jauh  lebih tinggi  lagi walaupun  juga berwarna  merah.   Kesimpu- lannya,  bintang ini memiliki ukuran  yang jauh lebih besar dibandingkan dengan ukuran bintang  raksasa merah, maka dinamailah  bintang  semacam ini sebagai bintang  maharak- sasa merah(red  supergiant).
Keadaan  yang berbeda terjadi  pada bagian kiri bawah dari diagram Hertz prung Russel. Cahaya  yang dipancarkan bintang-bintang disini lebih lemah  meskipun  temperaturnya tinggi.   Ini berarti  luas permukaan  pemancar  radiasi  bintang  ini kecil, lebih kecil dari- pada  luas permukaan  bintang  deret  utama  yang bersuhu  sama.   Bintang-bintang yang ada di bagian kiri bawah ini kemudian  disebut  sebagai bintang  kerdil putih  karena ukurannya  yang kecil dan berwarna  putih.
Diagram Hertzprung-Russel juga bisa dipakai sebagai alat  untuk  menentukan jarak bin- tang.  Cara  penentuan jarak  semacam ini disebut  metode paralaks  spektroskopik.   Mis- alkan  kita  menemukan  sebuah  bintang  bertipe  G2 yang  terletak  di  deret  utama  dan memiliki magnitudo  tampak  (m) sebesar +8.   Dengan  informasi ini, jarak  bintang  bisa ditentukan, karena  magnitudo  mutlak  (M)  bintang  bisa kita  tentukan dengan  melihat diagram  Hertzprung-Russel.  Bila magnitudo  tampak  dan magnitudo  mutlak  diketahui, maka  jarak  (d)  bintang  dalam  satuan  parsek  dapat  langsung  diketahui  (menggunakan rumus m  M = -5 + 5 log d).
Namun  demikian,  kelas spektrum  suatu  bintang  terkadang  tidak  terlalu  jelas menun- jukkan  magnitudo  mutlak  bintang  itu.  Penyebabnya, kadang-kadang terdapat beberapa bintang  yang  memiliki kelas spektrum  sama  tetapi  kecerlangannya  berbeda.   Oleh se- bab  itu,  dibuatlah sebuah  klasifikasi yang  lebih detail  dengan  memperhatikan tingkat luminositas  untuk  membedakan  bintang-bintang yang kebetulan  memiliki tipe spektrum yang sama.  Dengan cara ini akan  kelihatan,  apakah  bintang  itu suatu  bintang  raksasa, maharaksasa, atau  bintang  deret utama.
Klasifikasi bintang  menurut  tingkat  luminositas yang paling banyak dipakai adalah klasi- fikasi yang dibuat  oleh W.W.  Morgan dari Observatorium Yerkes.  Ia membagi tingkat luminositas bintang  menjadi enam tingkatan, mulai dari golongan Ia (maharaksasa yang amat  terang),  Ib (maharaksasa yang terang),  II (raksasa  terang),  III (raksasa),  IV (sub- raksasa),  dan terakhir  golongan V (bintang  deret  utama). Selain dipakai  untuk  menen- tukan  jarak,  posisi pada  diagram  Hertzprung-Russel juga menunjukkan tingkat  evolusi sebuah bintang.  Ini dikarenakan  pada  saat  berevolusi, kecerlangan  dan temperatur permukaan  bintang  terus berubah.